Minggu, 01 November 2009

my SHORT STORY

MY BROTHER

Pagi itu seperti biasanya tiga hari dalam seminggu kakakku pergi menunaikan tugasnya sebagai guru di desa terpencil. Jam di rumah menunjukkan pukul 6.15 saat ia menuruni tangga di teras rumah.
“ Ma, Wawan pergi dulu. Assalamualaikum, ” ujarnya saat pamit ke Mama.
“ Waalaikumsalam, hati-hati ya nak ,“ jawab mama sambil berdiri di depan pintu dengan mata yang hendak menangis.
Bagaimana tidak, satu-satunya anak lelaki dalam keluargaku kini mengemban tugas yang mulia.
“ Ya Allah, lindungilah anakku, berkatilah setiap langkah dan perjalanannya. Amin “ bisik mama dalam doa.
Dengan mengendarai JupiterZ biru yang dibelikan papa, ia pergi menempuh jarak 21 km untuk sampai ke sekolah. Jalan yang akan dilaluinya pun tidaklah mudah.
18 km adalah jarak yang harus ditempuhnya dengan mengendarai motor. Dari tempat pemberhentian motor ia harus berjalan 3 km lagi untuk sampai ke sekolah. Jalanan sempit di perbukitan yang terjal, penuh liku, dan berbatu-batu adalah medan yang harus dilewatinya dengan jalan kaki.
Pada jumat pagi seminggu sebelum libur ramadhan aku ikut dengan kakak ke sekolah tempatnya mengabdikan diri.
Setelah menempuh jalanan aspal, kami sampai di jalan yang tidak boleh dilalui kenderaan. Kakak menitipkan motornya di salah satu rumah penduduk, dan mulai menapaki jalan yang menanjak dan penuh dengan batu-batu yang tajam yang tidak bisa dilalui oleh kenderaan.
“ Kak, pelan dikit dong jalannya capek nih,“ kataku sambil ngos-ngosan.
“ Kalau nggak cepat nanti telat banget nih, lagian di depan sana ada anjing yang baru beranak loh, kalau kamu digigit gimana?”
“ Idiih... digigit anjing?! Sumpah gue nggak mau.“
“ Makanya cepetan, jalan bareng kan lebih aman.“
“ Iya-iya, ini juga udah jalan kok, “ kataku dengan wajah merengut.
Setelah 15 menit berjalan, kakak memanggilku.
“ Beb, kakak duluan yah? Mau BAB nih, nanti kamu ikutin jalan ini aja, oke?! “
Belum sempat aku menjawab kakak sudah menghilang di tikungan jalan kecil menuju sungai.
“ Waduh, jalan sendiri?” pikirku dengan perasaan takut.
“ Nggak apa-apa deh, ntar juga kakak bakalan nyusul kok,“ gumamku sambil terus jalan.
Aku mulai panik setelah berada di puncak jalan yang menanjak dikelilingi oleh rumput padang yang tingginya hampir melebihi tinggi badanku saat ada anjing yang menggonggong.
Sudah lebih dari 5 menit kakak belum muncul juga.
“ Kakak...kakak...kakak...!” aku beteriak memanggilnya.
“ Kakak.... “ kali ini lebih keras. Namun belum ada sahutan.Lalu ku putuskan untuk diam. Tidak lama kemudian kepala yang nyaris plontos mirip Rivaldo itu muncul dari dari jalan kecil yang ditumbuhi rumput padang.
Itulah kakak. Entah kenapa aku lebih suka menyebutnya mirip Rivaldo pebola asal Brasil yang pernah memperkuat AC Milan klub kesayangan kami berdua ketimbang Roberto Carlos pemain favoritnya. Mungkin karena kepala dan gaya rambutnya yang mirip Rivaldo. Kupikir begitu.
“ Kenapa kamu teriak-teriak kayak orang ketakutan gitu?!” tanya kakak.
“ Habis, ada anjing yang menggonggong. Lagian juga kakak nggak mau nyahut sih,“ ujarku cemberut.
“ Hehe...ya sudah jalan lagi yuk, ” ujarnya santai.
Sudah tiga puluh menit berjalan kami belum juga sampai di tujuan.
“ Masih jauh ya kak? “
“ Sedikit lagi, ntar kalau lautnya sudah kelihatan itu artinya kita sudah sampai.“
“ Rasanya dari tadi ngomong kayak gitu deh, tapi belum mau sampai juga ,“ ujarku memelas.
Dia hanya tersenyum tanpa menanggapi omonganku. Aku jadi kagum dengannya. Dia mampu melewati semua ini dengan tersenyum. Aku mau menangis saja saat mengetahui pengorbanan dan penderitaannya demi sebuah tugas.
“ Tuh, lautnya udah kelihatan. Panoramanya bagus kan? “ suara kakak yang berjalan di belakang membuatku kaget.
“Uhm...” aku belum sadar dengan apa yang dikatakan kakak saking capeknya.
“ Tuh, lihat tuh, ” katanya sambil menunjuk ke laut.
“ Mana, apaan sih? ”
“ Laut!”
“ Emang kenapa dengan laut?” tanyaku masih belum sadar karena terlampau capek.
“ Masih pake nanya lagi. Kalau laut udah kelihatan itu artinya kita hampir sampai,“ jawabnya bersemangat.
Mendengar itu aku langsung mengangkat kepalaku “ Wuih, bagus banget. Pasirnya putih, pantainya bersih. Keren!” seruku bersemangat saat melihat panorama laut yang membentang di depan kami.
“ By the way, sekolahnya kok belum kelihatan? Katanya dekat laut.“
“ Iya, tapi harus menyusuri pantai ini dulu baru sampai ke sekolah.“
“ Oh, my God! Sudah melewati jalan gunung yang sempit dan berbatu-batu besar, masih harus menaklukkan pasir pantai yang indah nan hangat ini?“ tanyaku tak habis pikir.
“ Hehe.... ” dia hanya terkekeh mendengar ocehanku.
Aku menggeleng heran karenanya. Sudah jauh berjalan dia masih tersenyum begitu.
“ Ya Allah dia masih bisa ketawa. Mana jalannya cepat lagi. Bodo amat, dianya santai begitu,” pikirku.
Sekitar 8 menit menyusuri pantai, akhirnya kami tiba juga di sekolah tepat jam 8 setelah berjalan selama 52 menit. Ya, hampir sejam kami melewati jalan yang sukar dilalui namun menyenangkan.
“ Fiuhh...akhirnya sampai juga kita,“ ujarku lega sambil berselonjor kaki di koridor sekolah.
“ Capek ya? “
“ Ya iyalah, tapi capeknya langsung hilang lihat laut sama pantainya bersih dan indah begini. Kalau pemandangannya kayak gini aku mau ikut kakak terus,“ kataku sumringah.
“ Huh...padahal tadi mukanya lecek terus kayak baju yang nggak pernah disetrika dua bulan “ ujarnya dengan bibir mengerucut.
Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Aneh pikirku, dunia dan orang-orangnya memang aneh. Sebelum sampai aku terus menggerutu dan berjanji dalam hati nggak mau balik lagi ke sini meskipun dibayar, sedangkan kakak senyum terus.
Tapi sekarang kok malah dia yang gantian bermulut monyong dan aku senyum dengan senag hati. Geli aku memikirkannya.
“ Ihh, adikku nomor dua ini memang menyeramkan. Barusan dia cemberut sekarang malah senyum-senyum sendiri,“ ujarnya sambil menyilangkan tangan di dahi ketika melihatku tersenyum geli memikirkan keanehan kami.
Kupikir itu wajar saja, tapi sedikit aneh memang. Kakak dan aku memang mempunyai banyak kesamaan dan tentunya punya perbedaan.
Terbilang cukup aneh dan unik untuk dua kakak beradik yang beda jenis. Mulai dari klub sepak bola, kami menyukai klub yang sama yaitu AC Milan, Chelsea dan Real Madrid. Kami menyukai angka yang sama yaitu angka delapan. Aku sangat suka angka itu karena aku lahir pada tanggal itu. Tapi aku tidak tahu kenapa kakak menyukai nomor delapan. Apalagi saat dia bermain sepak bola, dia lebih suka mengenakan kostum bernomor delapan.
Aku hanya menduga mungkin karena playmaker andalan kami semuanya bernomor punggung delapan. Mulai dari Kaka` yang bernomor punggung 8 saat bermain untuk timnas di World Cup 2006 dan sekarang di Real Madrid. Juga ada Lampard yang mengenakan nomor 8.
Kami juga punya selera film yang sama yaitu film kartun Naruto, Conan dan Dragon Ball, seperti halnya dengan komik yang kami sukai. Sama halnya dengan group band, Peter Pan adalah band favorit kami.
Aku dan kakak paling suka bercerita tentang film dan sepak bola ketimbang membicarakan hal-hal lain seperti remaja belasan tahun pada umumnya. Padahal usia kami terpaut empat tahun.
Satu hal yang sangat berbeda dari kami berdua adalah soal pelajaran yang paling disukai saat di sekolah.
Kakak lebih menyukai mate-matika dan sangat benci bahasa inggris. Sebaliknya aku tidak hobi dengan mate-matika tapi sangat suka dengan bahasa inggris. Itulah yang membedakan aku dan kakak, karena dari segi sifat kami berdua sama. Sama-sama pendiam.
“ Lagi ngelamun apa sih? Kok dari tadi diam terus. Emang capeknya parah banget ya, sampai nggak mau ngomong lagi,“ tanya kakak yang dari tadi tanpa aku sadari terus memperhatikan aku yang terus diam sejak sampai ke sekolah.
“ Hmm..., enggak kok. Cuma mikirin kenapa ya, kita manusia ini kok aneh,“ jawabku sambil memandang ke laut lepas.
“ Aneh? Aneh gimana maksud kamu? “ tanya kakak dengan dahi mengerut.
“ Yah... cuma pikiranku aja yang ngatain kayak gitu. Apa kakak nggak merasa aneh dengan dunia dan orang-orangnya? Contohnya aku sama kakak barusan.“
“ Memangnya kenapa kita berdua tadi, kakak masih nggak ngerti ,” tanya kakak dengan dahi yang kerutannya tambah dalam karena bingung memikirkan apa yang sebenarnya aku maksud.
Melihat kakak dengan wajah begitu, timbul ide jenakaku untuk mengerjai kakak. “ Nah, kayak gitu tuh “ kataku menunjuk dahi kakak yang belum pulih dari kerutannya.
Sambil memegang dahinya kakak bertanya “ Apaan? “
“ Kayak kerutan di dahi kakak. Tadi kan aku yang wajahnya selalu mengerut, sekarang gantian kakak yang kayak gitu.“
“ Masih umur 22 tahun udah keriputan di dahi. Tua amat belum, nikah apalagi. Kayak orang yang mau ngasih makan anak sepuluh,“ sambungku.
Kakak langsung tersenyum mendengarku. “ Jadi itu yang kamu bilang aneh?”
Aku tersenyum mengiyakan.
“ Eitt...masih ada lagi yang bikin kakak sama aku jadi saudara paling aneh di dunia,“ kataku bersemangat.
Kali ini dengan wajah melongo kebingungan kakak melihatku penuh tanda tanya.
“ Bayangin deh kak, kita berdua ini kan beda. Laki sama perem...” belum selesai aku menyelesaikan kalimatku kakak langsung menyela.
“ Emang! Kata siapa kita berdua sejenis.“
“ Dengerin dulu dong baru ngomong, susah amat sih. Wajah sudah penuh tanda tanya gitu apa nggak mau tau alasannya?! “
“ Iya deh, mau.“
Aku terus melanjutkan opiniku.
“ Kita sama-sama suka klub yang sama, padahal belum tentu alasan aku sama dengan kakak sampai aku jadi penggemar Milan. Film kartun pake samaan segala lagi. Begitu juga dengan angka favorit. Kakak suka kan dengan nomor delapan? “
“ Iya juga sih. Emang karena itu ya?“
“ Oh ya, kakak tau kenapa kita bisa sama. Kamu pasti ikut-ikutan kan? “ sambungnya.
“ Enak aja, aku suka Milan itu dari hati terdalam men. Bukan karena ikutan dengan kakak yang lebih dulu mengerti bola ketimbang aku,“ balasku dengan menepukkan tangan di dada.
“ Lagian juga aku lebih tau Naruto lebih dulu dari kakak, berarti situ dong yang ikut-ikutan,“ balasku dengan wajah yang penuh kemenangan.
“ Hehe, nggak tau juga ya,“ ujarnya sambil menggaruk kepala. Kami hanya tertawa menyadari hal itu.
Matahari bersinar sangat terik saat kami pulang melewati jalan yang sama. Jam sudah menunjukkan pukul 10:30 saat kami mulai menapaki jalan yang menanjak meninggalkan indahnya panorama pantai siang hari.
Pria yang berjalan di depanku kini adalah sosok yang sangat kuhormati dan kukagumi. Kuhormati karena dia lebih tua dariku dan kukagumi karena perjuangan dan kesabarannya melewati semua rintangan selama ini.
Ya, He is My Brother.

Tidak ada komentar: